Kamis, 10 Januari 2013

GOLD

--> Created by: Okty Purwani

GOLD

UNDANGAN dari Gilang kuterima di kantor menjelang menjelang pukul tiga, sesampainya aku dari tugas lapangan. Rencana untuk segera menyeduh teh untuk  merelaxkan suasana segera terlupakan. Perhatianku  tersirat pada sebuah amplop yang di desain sangat bagus.
            Saat ku buka sampul plastiknya, telepon di mejaku berdering. Aku mengangkat telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan yellow board yang dilapisi art paper, dan dicetak spot ultra violet pada tulisan “GOLD ”.
            “Selamat siang dengan Galih Artika Dewi di sini.” Sambutku.
            “Galih, tumben kamu ada di tempat! Seru suara dari seberang sana.
            “Maaf, siapakah ini?”
“Astaga, Kamu lupa suaraku? Padahal baru empat bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya bertemu karena sepanjang malam kita bersama-sama.” Ada nada gemas merasuk ke telingaku. “Sorry, jika aku menelponmu ke kantor.  Sudah beberapa kali aku coba menghubungi, tp HP-mu tidak aktif.”
Aku tertawa dan minta maaf, bukannya tidak aktif, lebih tepat nomornya berbeda. “Aku baru saja menerima undangan, jadi konsentrasiku bercabang. Tampaknya ini undangan darimu! Jadi rupanya kamu serius dengan rencanamu itu?
“Tentu! kenapa tidak? Sudah sejak lama aku ingin membuat villa di Ubub. Jadi ku putuskan untuk mendapat kepuasan batin dari pada hanya aku idamkan saja.”
“Yayaya.. Aku turut gembira, luar biasa!”
“Ini juga karena ada bara cinta yang membakar, bukankah nanti kita bisa lebih mudah untuk     berlibur.” Jika itu yang benar dia rencanakannya, ketika dia sendiri tahu aku sudah memiliki tunangan, aku terkesipu mendengarnya. “Kamu tamu istimewaku.”
Entah; seharusnya aku melonjak gembira atau terkesiap mendengar ucapan yang demikian mantap memekik dari peria setampan dirinya.
“Dewi, kenapa kamu diam saja?
“Oh, sorry! Sebenarnya aku mau melonjak, tapi tentu salah tempat, Di depan mejaku sudah ada yang menunggu, mau membicarakan pekerjaan.” Jwabku dusta.
“Oke, manis, sampai jumpa.
Gagang telepon masih ditelinga, menunggu Gilang menutup telepon. Maafkan aku Gilang, tidak akan seperti yang kita harapan, cepat atau lampat perselingkuhan kita harus di akhiri. Tapi percayalah. Kasihku tulus padamu.

SEINGATKU tadi Bagas minta dibawakan kue. Sambil meluncur menuju rumahnya, aku berencana singgah di sebuah bakery langganan. Sepanjang jalan yang ku pikirkan adalah cara pergi ke Bali, meskipun Malang tidak terlampau jauh dari Bali. Tapi rencana ke sana diluar tugas kantor pasti akan memancing keinginannya untuk ikut pergi menemaniku. Tentu saja itu tidak boleh terjadi, bagaimanapun tidak mungkin bagiku utuk memepertemukan dua peria yang kusayangi dalam satu ruang dan waktu. Pasti akan menyebabkan tiupan badai yang menghancurkan. Namun jika diam-diam pergi tidak masuk akal bagiku mengingat setiap hari kita bersama. Jadi, mesti ada perjalanan dinas ke Bali.

      IBU bagas menyambut gembira kedatanganku. Kemudian setelah aku memberikan bungkusan roti yang seharusnya langsung aku berikan pada Bagas,  aku langsung beranjak ke lantai dua menuju kamar Bagas yang sedari tadi sudah menungguku. Mendadak rasanya tidak nyaman. Hal pertama yang aku inginkan adalah Bagas tidak menemukan undangan dari Gilang.
      Dia menyapa sayang padaku sambil tetap sibuk dengan komputrnya. Keringat mulai mengembun di keningku, tiba-tiba ac di dalam kamar Bagas tidak sesejuk biasanya. Mungkin aku harus pura-pura mengeluh, kenapa perusahaan harus memilihku untuk dinas ke Bali. Dan aku membayangkan reaksinya yang menghiburku seraya mengelus lembut pipiku dan aku  memeluk manja dirinya seperti bayi.

      TIGA hari menjelang keberangkatanku, seperti hari biasa aku bermalam di rumah Bagas, apa mungkin sebaiknya aku menghembuskan kabar ini sebelum aku bercinta dengannya. Namun aku tidak mapu berkata ketika wajah Bagas tinggal beberapa centimeter dari wajahku. Pikiranku justru tersangkut pada kejadian serupa beberapa bulan yang lalu, ketika bibir Surya yang beberapa kali memenuhi bibirku, dan  rambutku yang bebarapa kali memenuhi wajahnya. Aktivitas yang berakhir membuat tubuh kami lembab, selalu di akhiri dengan aroma honey di dalam bath-tub. Aku tidak yakin bagaimana Surya menjadi begitu berarti bagiku, dan aku mengenalnya jauh sebelum mengenal Bagus. Tapi hari berikutnya peria itu layaknya oksigen yang tak tergantikan.
      Keesokan harinya setalah aku duduk di ruangan kerjaku, aku deg-degan menunggu waktu yang tepat untuk menelpon Bagas.         Hingga menjelang jam 2 aku mengambil gagang telepon dan mulai memencet tombol angka.
      “Sayang, akhir-akhir ini kamu Nampak lebih sibuk?”
      “Iya, knapa?”
      “Dua hari lagi aku ada tuga dinas ke Bali.”
      “Lho! Kok mendadak? Berapa lama?”
      “Iya surat tugasnya baru aku dapat tadi pagi. Mungkin dua sampai tiga hari.”
      “Oke. Nampaknya malam ini kamu perlu banyak istirahat, nanti aku belikan kamu es crem kesukaan.”
      “Trimakasih sayang.. Muuach.” Tanpa menunggu balasan darinya aku langsung menutup telepon. Bagaimanapun berdusta itu mendebarkan.

SENJA baru saja tenggelam, kudengar sayup suara gambelan Bali.  Lokasi Villa di Jalan Suweta dekat Waka di Uma ressort, 5 menit dari Sentral Ubud.
Akses pribadi ke ke lokasi hanya 50 meter dari jalan raya. View sawah dan tebing di belakang menambah kesan natural. Rupanya Gilang benar-benar menyulap suasana menjadi etnik. Gerbang yang tertutup ilalang, kolam tepi cakrawala yang nampak mengambang di lembah Ubud. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, tentu saja aku tersipu malu di depan banyaknya undangan yang datang, sambil berharap tidak satupun orang yang mengenalku di sini. Dan ku dapati si tampan Gilang mengenakan setelan jas, menoleh kearahku.
      “Oke teman-teman dan para wartawan, kekasih yang kun nanti-nanti sudah tiba. Kita mulai acaranya”.
                  Aku agak kikuk, namun Gilang meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada beberapa bule yang hadir di sana. Justru membuat Gilang tidak merasa sungkan mencium bibirku. Dan entah kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal yang berlangsung sebentar tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku silau.


Namun ketika pelukan Gilang lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah tunanganku.
Bagas ada di sudut itu! Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya tertegun. Atau terpesona? Tapi parasnya memucat.
"Baiklah," ujar master of ceremony. "Kita akan mendengar awal gagasan mengenai GOLD. Silakan Gilang bercerita untuk kita…"
Selanjutnya telingaku tidak menangkap kata-kata dari Gilang, karena segera bergegas mengejar Bagas yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk diriku yang mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin. Apakah aku juga harus mengutuk teman yang mengajaknya ke sini? Bukankah dia sedang sibuk?
"Bagas!" aku memanggil.
Di luar sunyi, tapi tidak dengan degup jantungku yang gemuruh
.     "Nama GOLD kupilih karena…." Suara Gilang semakin sayup. Di taman yang separuh gelap itu, aku berlali mengejar Bagas.
      Sementara di ujung jalan aku melihat sebuah mobil swift meleset, aku tahu bahwa kecepatannya akan selamanya kurasakan terlalu cepat.

       


           

Senin, 12 Maret 2012

Tanpa Judul


Created By Okty Purwani

Beginilah suasana senja di Jantung kota, pemuda bermain skeat board,  ada yang duduk di trotoar, atau mereka yang ngobrol-ngobrol dan tertawa-tertawa sambil duduk di atas sadel motor. Anak kecil berlarian ditemani orang tuanya. Orang gila yang pipis didepan umum setelah bangun tidur. Disanalah Putri duduk disebuah kursi semen panjang, bersisihkan dengan sepasang orang tua yang sedang mengawasi anaknya bermain.
Angin sepoi terus saja mengibaskan rambut poninya. Putri hanya duduk saja, sesekali tertawa sendiri melihat dua anak kecil yang sepertinya kembar belajar untuk berjalan. Beginilah yang sering dia lakukan beberapa saat sebelum senja akan rebah disini dan membawa orang-orang pergi.
Seseorang tiba-tiba berdiri didepannya, “Kamu di sini?” Putri menatap wajah pria itu, Agung berdiri tepat di depannya. Segala rasa berkecambuk di hati Putri, kaget, senang, haru, pilu, membuat Putri ingin segera menjatuhkan diri kepelukan pria itu.
Begitu juga dengan Agung yang berdiri di depannya, hatinya bergemuruh mendapati perempuan ini di depannya. Ingin rasanya Agung memeluk dan mencium atau hanya sekedar menyentuh pipinya saja, tetapi tidak juga dia lakukan.
Putri masih diam saja memandangi Agung, sampai dia dapat menguasai hatinya kembali, dan menggeser duduknya memberi tempat untuk Agung disampingnya.
“Sendirian?” Tanyanya, sambil duduk di samping Putri.
 Putri tertawa kecil. “Menurutmu?, lama gak bertemu.”
“Berapa lama ya.” Jawab Agung. “5 bulan, 1 tahun, 3 tahun, 6 tahun”
“6 tahun.” Jawab putri pasti.
“Ohhh 6 tahun. Kamu masih seperti dulu, manis.” Putri tertawa kecil, dia merasa sudah terlalu tua untuk dikatakan manis, tapi itu cukup menyanjungnya. “Sudah menikah?”
“Belum. Kapan pulang?” Tanya Putri yang sudah mulai berani menatap wajah lelaki yang duduk di sampingnya itu.
“Belum dua minggu.” Jawab Agung.
“Trus kapan rencana balik.” Lanjut Putri.
“Entah.”
“Kok?” Agung tak menjawab, dia melepaskan sandal yang dia gunakan, menaikkan kakinya dan duduk bersila.
Detik berikutnya mata Putri tampak berlinangan. Goresan luka di sudut hatinya kembali terkoyak. Rasa perih perlahan datang. Luka lama itu ternyata tak pernah mampu disembuhkannya. Semula ia menduga luka itu telah pulih, tetapi sore ini, ketika Agung tiba-tiba muncul di hadapannya ia sadar luka itu masih ada. Tertoreh dalam di sudut perasaannya. Putri yang ketika itu masih seorang mahasiswi, dan sudah bertunangan jatuh cinta pada Agung, seorang arsitek yang baru saja memulai karier. Pertunangan dia batalkan, memilih menaiki perahu kecil bersama Agung, yang akan membawanya pada pulau impian, hanya berdua bersama Agung. Tetapi sebelum Putri sampai pada tempatnya, dia harus tercebur, berjalan sendiri di sungai penuh kedinginan. Dua tahunan  mereka bersama, tetapi ketika Putri benar-benar yakin dia akan hidup selamanya bersama Agung, Agung memilih pergi meninggalkannya mengejar karier ke luar negeri. Pedihnya tanpa memberi harapan apa-apa pada Putri, pergi begitu saja.
“Bagaimana pengalamanmu disana.” Tanya Putri ketika sudah dapat sedikit menguasai perasaannya.
“Baik. Oya! Bagaimana kabar Dewan, kamu kembali bersamanya?” Mendengar ucapan itu, Putri lebih berani menatap wajah Agung.
“Jadi kamu kira setalah aku begitu saja memutuskan pertunanganku dengan dia, dan memilih bercinta bersamamu, dia akan begitu saja menerimaku. Pikiran bodoh dari mana itu Gung? Putri sudah benar-benar tak mampu lagi mengendalikan perasaannya. Putri menangis. Kebekuan kembali menyelimuti kedua orang itu. Waktu 6 tahun cukup lama terlalu banyak hal yang terjadi pada mereka, pertamuan sore ini mungkin dapat mereka gunakan untuk brtukar cerita, namun mereka tidak tau apa yang harus mereka ceritakan.
Langit kehilangan warna jingganya, lampu mulai menyala satu persatu.
Terdengar Agung menarik nafas, perlahan gumpalan kemarahan yang menyesak di dada Putri mereda. Namun hasrat untuk terus ngobrol telah tak ada. Maka sisa pertemuan itu pun berlalu begitu saja. Kebekuan masih mengental di antara keduanya. Hingga Putri minta diri, dan beranjak pergi.
Hari-hari setelah itu tidak tampak lagi Putri di Puputan, tapi sesekali di Agung masih terlihat duduk di salah satu bangku panjang berbaur dengan pemuda, atau mereka yang baru menginjak remaja.

Putri merebahkan badannya di tempat tidur, pikirannya  menerka hal yang tak tertuga beberapa minggu lalu.  Beberapa tahun terakhir  ini dia sudah cukup yakin, bahwa dia mencintai Angga , tetapi ada yang  berbeda sekarang. Putri diam sejenak, hingga kemudian di mengangkat tangan kanannya, di sana di sebuah jari manisnya  sudah melingkar cincin janji pernikahannya dengan Angga.
Ponsel dalam tas Putri berdering. Panggilan dari Ema, dan Putri baru ingat bahwa malam ini dia ada janji menghadiri pertunjukan teater di kampusnya dulu, tanpa menjawab telepon dari Ema. Putri membasuh wajahnya dan bergegas pergi.
Keringat menggebu di kening Putri, seakan pendingin di dalam mobil tak sesejuk seperti biasa. Kepedihan akan masa lalu mengental kembali, tetapi di sebuah sudut hatinya tak dapat dia tepis bahwa dia ingin bertemu kembali dengan Agung. Dan dulu beberapa lama setelah kepergian Agung, dia masih terus mencari-cari kabar tentangnya. Saat seperti ini mungkin akan baik jika dia bisa bertemu dengan Angga. Tetapi setau Putri Angga sedang pergi keluar kota untuk urusan pekerjaan, mungkin baru balik ke Bali seminggu lagi, atau lebih.

Teater sudah dimulai, ketika Putri datang dan duduk disalah satu bangku penonton dan sedang beraksi dua orang pemain, salah satu dari mereka anggun dengan gaun hijaunya. Wajahnya yang oriental dengan make up tipis yang digunakan, dapat ditebak jika dia adalah pemeran utamanya. Yang satunya lagi berpakaian lebih usang, dan garis make up yang membuat wajah mudanya terlihat lebih tua. dengan membawa bakul penuh mawar. Sementara Ema yang duduk disamping Putri tak henti-hentinya menyuapi putri kesayangannya biscuit. Putri tertawa kecil melihat Ema, yang berpenampilan lebih terlihat seprti sekertaris dari pada seorang ibu.
Pertunjukan teater dihentikan sejenak.
“Para hadirin, sebelum kita menyaksikan cerita selanjutnya, saya punya kejutan buat kita pecinta teater,  kita malam ini punya tamu spesial, dia seorang pemain teater propesional, yang sudah sering bolak balik luar negeri lho. Untuk apa lagi, jka bukan karena di undang untuk pertunjukan. Kita sambut Julian Pramesswari.” Putri lebih terlihat mual dari pada kagum mendengar ucapan master of ceremony itu. Berdirilah sesosok wanita dari kursi paling depan, Putri yang duduk di areal kanan menghadap panggung,  hanya bisa milihat wajahnya dari samping. Wanita itu anggun dengan dress merah jambu yang dia gunakan, senyumnya mempesona melambaikan tangannya. Tetapi yang menarik perhatian Putri adalah sosok pria yang duduk di samping wanita itu, sesosok pria yang begitu dia kenal. Angga. Putri berdiri, Angga menyadari kehadiran Putri. Selanjutnya telinga Putri tidak menangkap musik indah dari panggung teater, karena segera bergegas meninggalkan gedung yang berdekorasi mewah itu. Angga juga seperti beringsut menerobos penonton begitu cepat ke arah pintu keluar.
"Putri!" Teriak Angga.
Di luar sunyi, musik dari dalam gedung terdengar sayup. Sementara di taman yang separuh gelap ini, Angga berharap menemukan degup jantung Putri.


Bersambung..
``

Minggu, 11 Maret 2012

Undangan


Kenapa kamu diam saja, apa kamu yakin dengan keputusanmu, bukankah dia sudah begitu baik padamu?” Seorang Wanita paruh baya, berkata pada anaknya yang tetap duduk tenang  sambil menikmati secangkir teh. "Ingat! Kamu sudah dewasa. Mau sampai kapan kamu seperti ini?"
"Tapi aku tidak cinta dia ibu!"
"Ya, itulah! Bagaimana kamu bisa cinta sementara kamu tidak serius."
"Sudah aku coba ibu! Sudahlah! Ini bukan masalah cinta-cintaan. Ibuku sayang! tenang saja, aku gak bakalan jadi perawan tua kok bu." Jawab Dewi menggoda ibunya.
"Doakan saja, biar secepatnya ketemu jodoh." Lanjut Dewi sambil bangun dan mengambil tas kerjanya, kemudian mencium kedua pipi ibunya.
"Aku berangkat kerja."
 Wanita yang masih terlihat cantik mesti garis keriput sudah mulai tampak di wajahnya serasa kehabisan kata-kata. Dia menggeleng tesenyum melihat anak gadis yang sangat dia sayangi.
"Hati-hati!"
Dewi membunyikan klakson swiftnya tanda dia pergi meninggalkan rumah.

            Gadis yang sudah dewasa ini terlihat anggun dengan gaya rambut formalnya, kemeja merah jambu yang dia gunakan terlihat cocok dengan rona di pipinya. Musik klasik selalu setia menemaninya. Ditengah perjalanannya Dewi tertarik pada suatu keramaian. Caremoni pembukaan Galeri bernama Puja. Cukup terlihat dari jalan banyak dipamerkan seni lukis dan juga patung. Sejak beberapa waktu lalu dia memang sudah pernah mendengar berita tentang akan dibukanya Galeri ini. Sebenarnya Dewi ingin turun  dari mobil untuk melihat secara langsung, tetapi tidak mungkin dia melakukannya sekarang, takutnya terlambat sampai di kantor. Hanya mobilnya saja yang agak diperlambat lajunya.
           
            Komputer baru saja dia hidupkan. Hpnya berdering, dilihatnya panggilan tanpa nomor, Dewi enggan untuk mengangkat dan dibiarkan saja sampai panggilan keempat kalinya. Dan dengan perasaan agak terganggu dia terpaksa mengangkat panggialan itu  sambil tetap membuka folder pada komputernya.
"Selamat pagi." Sambutnya.
"Hai! Lama benar kau angkat teleponku!" Suara dari seberang sana.
"Maaf ini dengan siapa ya?"
"Astaga, bukannya hampir setiap hari aku menelponmu."
"Siapa?"
"Agung! Agung!"
"Wae! Cek cek beli! Private number! privat number!"
"Eh! Benarkah, masa sie? sori sori!"
"Yea! Ada apa?"
"Ada undangan buatmu. Pernikahan!"
"Dari siapa?"
"Dara! Kamu masih ingatkan? Itu lho teman seangkatan kuliah kita dulu."
"Oooh, dia."
"Ya dah kalau gitu, nanti aku bawa undangannya ketempatmu. Nanti kita barengan yuks! Sama  Gilang juga lho"
"Oke deh! Oke!"
"Yap! Nanti ku telepon  lagi."
Dewi tetap menempelkan Hpnya ditelinga ketika Angung sudah menutup telepon, Dewi mengerutkan keningnya mengingat sudah banyak temen-temannya yang menuju pelaminan. Sejenak dia memikirkan kata-kata ibunya tadi pagi, tapi sudhlah pikirnya. Beberapa hari lalu dia memilih memutuskan hubungannya secara baik-baik dengan Gusti. Mesti lelaki itu sangat baik padanya, tetap saja dia tidak bisa mencintainya. Pikir Dewi mungkin akan lebih baik jika Gusti menemukan wanita yang benar-benar mencintainya. Lagian jika Gusti tahu kalau dia mencintai orang lain, tidak mungkin dia mau padanya. Entahlah! Apa mungkin lelaki itu penyebabnya, Dewi belum bisa membuang nama Putra dari hatinya, padahal lelaki itu sudah jauh hari pergi meninggalkannya.

***
            Sudah terbayang dibenak Dewi bagaimana wajah kedua pengantin ditengah orang-orang yang memberi mereka restu. Kebaya dan kain sutra berwarna coklat keemasan membalut tubuh gadis tinggi semampai ini. Jalinan mutiara berukuran kecil melingkar dilehernya, membuat penampilannya terlihat klasik. Dia sudah siap berangakat ke Ubud.
Mobil yang di kendarai Agung melaju santai ditengah keramain jalanan by pass.
"Eh! Aku seperti jadi sopir kalian deh!" Celotehnya  karena Dewi dan Gilang duduk di belakang.
"Jangan protes deh kao! Nanti tak traktir lho". Canda Gilang seperti merayu pacarnya.
"Traktir apa?"
"Makan dan minum plus kue di acara Dara."
"Ah! Dasar lu". Agung jadi salah tingkah. Seperti dia lupa saja sedang bicara dengan siapa.
Dewi yang duduk di samping Gilang tertawa melihat kedua temannya yang sejak dulu sudah seperti pasangan homo.

Ukiran janur yang sangat indah menghiasi gerbang rumah, tiang-tiang bangunan terbalut kain perada berwarna emas. Seperti yang Dewi bayangkan sebelumnya kedua mempelai seperti Rama dan Sinta mengenakan pakaian pengantin adat bali. Sungguh mempesona. Mata mempelai wanita  berbinar-binar bak permata rubi, senyumnya tak pernah henti menyambut setiap tamu undangan yang datang termasuk kepada mereka bertiga. Suara merdu gambelan bali, menambah harmonisnya suasana pesta.
Dewi dan yang lainnya bertemu dengan teman-teman mereka sekampus dulu, seperti menjadi reuni tak terencana. Dalam pertemuan yang singkat ini secara kebetulan mereka dapat bernostalgia. Ngobrol dan tertawa seperti dulu.
Dewi terpingkal-pingkal melihat Gilang yang tak hentinya membuat lelucon, hingga seketika tawanya lenyap seperti bintang yang ditelan awan malam. Perhatiaanya tertuju pada tempat tamu diseberang taman dengan gemericik air mancur yang tak henti-hentinya mengalir. Dilihatnya seorang yang sepertinya sangat dia kenal. Pria itu memangku seorang anak kecil yang terus meronta-ronta dengan senyum dan rona kemerahan dipipinya. Dapat dilihat usianya belum genap setahun. Sementara wanita cantik yang duduk disampingnya sibuk mengelap bibir anak itu dengan tisu. Jantung Dewi bergemuruh memandangi pemandangan berkeluarga itu. Sudah 6 tahun dia tidak pernah bertemu lagi dengan pria yang terlihat tengah bahagia bersama anak dan istrinya itu. Mata Dewi tampak berlinang, belum sempat pria itu menyadari kehadirannya. Dewi  minta diri pada yang lain, dan secepatnya meninggalkan tempat itu. Agung yang merasa sikap Dewi aneh langsung bringsut mengikutinya, hingga  Gilang menyusul kemudian.
"Gung! Kita pulang yuk!" Kata dwi sambil menahan air matanya.
"Kamu kenapa Wik?"
Dewi tidak menjawab, tapi Agung yang menyadari Dewi tidak seperti biasanya, mengikuti permintaan Dewi untuk segera pulang.

            Dewi tetap terdiam dan Agung yang duduk disampingnya tak tahu harus bagaimana untuk bisa menenangkan temannya, nampak kekhawatiran di wajahnya. Mobil melaju perlahan melewati jalanan Desa, hamparan hijau sawah yang ditumbuhi padi masih cukup terlihat karena sayup-sayup cahaya rembulan.
"Gung! Bisa kita berhenti sebentar."
            Dewi duduk diatas rumput yang mulai basah kerena embun, tanpa memikirkan sutra yang dia kenakan. Daun-daun padi menari tertepa sepoi angin malam. Air mata mulai mengalir membasahi pipi Dewi. Agung  medekati dan duduk disampingnya.
"Tidak masalah jika kamu tidak mau cerita padaku, tapi kumohon Wik! Tenangkan dirimu?"
”Ini juga aku mau nenangin diri Gung! Jawab Dewi kesal, tapi tanpa bermagsud membentak Agung. Agung diam, sementara wanita disampingnya semakin terisak menangis. Agung berpikir untuk menyandarkan kepala gadis ini kebahunya, tapi tidak juga dia lakukan. Sejenak kebekuan menyelimuti kedua orang itu.
"Aku melihatnya." Dewi mulai bicara setelah dapat menguasai perasaannya.
"Siapa."
"Orang yang selama ini aku ceritakan padamu."
"Dia? Putra?"
"Iya Gung." Jawabnya sambil mulai menghapus air matanya. "Dia sudah menikah Gung."
"Kamu yakin?"
Dewi diam. Agung tidak tahu apa yang harus dia lakukan, karena dia tahu jika masalahnya adalah Putra, Dewi sangat sensitive.  Dewi sering bercerita padanya tentang hubungannya dengan Putra dulu. Bahkan beberapa lama setelah Putra pergi, Dewi masih sering mencari-cari kabar tetangnya. Dalam pikiran Dewi, Putra masih sama sepeti dulu. Tak jarang bayangan Putra tiba-tiba membangunkan tidurnya atau menyergap ingatannya
"Aku belum bisa melupakannya, serasa baru kemarin aku bergandengan tangan dan berjalan menyusuri pantai bersamanya. Sesekali dalam suatu malam aku menangis merindukannya, sangat ingin rasanya aku memeluknnya. Dan ketika tidurku membawaku untuk melihat wajahnya, aku terbangun tersenyum dan dengan bodohnya aku pejamkan mataku kembali  berharap aku bisa melanjutkan mimpiku!" Ucapa Dewi terisak, air mata tetap menjurus mengalir di pipinya. Hingga dengan pelan dia  menyandarkan kepalanya kebahu Agung yang duduk disampingnya. "Tapi Dia tidak pernah salah Gung, Baguslah dia sudah bahagia sekarang!" Lanjut Dewi dengan perasaan amat pedih  menempati ruang di hatinya.
Agung perlahan menyentuh rambut wanita yang terlihat lebih dari menderita itu, dan mengelus rambutnya perlahan.
Beberapa saat kemudian suasana menjadi sunyi, tak terdengar lagi isak tangis Dewi, hanya saja suara Gilang yang sekali-kali menguap didalam mobil. Hembusan angin malam semakin terasa dingin. Sementara di sudut hati kecilnya, Agung memutuskan untuk selalu ada buat Dewi. Dan kembali dipandangnya wanita yang sudah dibuat lelap oleh harmoni malam.
***
"Coba kamu lihat awan itu?" Tangan kanan Agung menunjuk pada sebuah kumpulan awan. Sementara tangan yang satunya tetap bergelantung pada bahu Dewi yang duduk disampingnya."Kamu tahu? Melalui awan kita dapat berimajinasi, kita bisa membentuk apa yang kita pikirkan."
"Masa sie?" Jawab Dewi lebih pada menunjukkan wajah tida penasaran.
"Kamu coba saja sayang! Dia juga bisa kok membentuk wajahmu yang lagi cemberut."
"Ah! Dasar. Pelukis profesional saja tak mempu melukis wajahku."
"Wao! Karena terlalu jelek kali ya!"
"Ya! Terus ngapain masih duduk sama orang jelek! Tu cewek cantik, seksi lagi." Dewi menunjuk seorang cewek yang berpenampilan seperti cewek Amrik,  yang sibuk dengan telepon genggamnya.
"Ye! Marah nie nona."
"Tau ah!." Dewi tersenyum dipandangnya ombak yang tak henti-hentinya menghempas pantai. Langit biru membentang luas. Dan hari ini pula dia semakin tahu, bahwa dia tidak pernah lagi menangis untuk DIA. ^_^

           

Rabu, 23 November 2011

Lingkaran Senyum


Created By Okty Purwani

Lingkaran Senyum

Hujan gerimis disambut tunas-tunas rumput yang telah lama mrindukan warna hijau.
Begitu juga tangkai-tangkai bunga sudah cukup lama merindukan tumbuh kuncup bunganya yang bila mekar nanti akan mengundang kupu-kupu atau serangga untuk datang menyinggahinya dan membantu penyerbukan.
Aku tetap di sini, di sebuah kursi kayu panjang yang sudah mulai lapuk, dan aku sendiri harus awas dengan caraku duduk, barangkali beneran akan roboh.
Sayang! Aku yang sedang menangis tak berarti apa-apa di mata hujan yang semakin deras dan membawa pergi orang-orang  mencari tempat untuk berteduh. Tapi aku lebih mebiarkan tubuhku basah.
Dalam sebuah ruang di hatiku, aku sedang menepi dan mencari kehangatan lain  pada dingin di tubuhku. Aku basah dengan harapan tubuhku akan semakin dingin, sehingga barangkali akan bisa menjadi perbandingan untuk hatiku yang telah sejak awal memeng dingin, bahkan sudah aku rasa beku. Secara logika, yang dingin akan dikatakan lebih hangat jika dibandingkan dengan yang lebih dingin. Ya untuk itu aku membiarkan tubuhku dingin, dan menunggu setitik kehangatan dihatiku.
Aku melihat wajah langit hari ini, Bisakah aku mengatakan langit sedang menangis? Dan seperti mereka  aku akan berkata “wah.. langit ikut sedih melihat aku sedang menangis” nampaknya itu akan menjadi suatu kekonyolan yang seseungguhnya telah menjadi rahasia umum.
Kala hari itu, pertama kali aku mengenalmu di tempat ini. Dalam keadaan yang sama, aku dalam keadaan luka, tapi tidak sehebat hari ini, kau datang membawakanku segelas air minderal dan duduk disampingku. Ya kau adalah orang yang tidak aku kenal.
Itu adalah awal perkenalan kita, dan selanjutnya kita sering bersama bercengkeraman tentang  alam dan dunia fotograper yang kau tekuni, tentu tidak jarang kau juga bercerita padaku dengan model-model yang tekadang terlalu liar di matamu. Kau bilang tidak suka. Tapi setidaknya aku bisa membaca, bahwa kau menyukai itu, jika tidak, tidak menugkin kau bisa betah dan membanggakan dunia senimu itu.
Sesekali kita bersepeda melewati teduhnya rimbunan pohon, melepaskan sejenak segala kesibukan kita. Aku juga ingat betul bagaimana caramu menyibakkan rambut poniku untuk membersihkan keringat dibaliknya.
Pernah juga kita berdiri menikmati indahnya air terjun dan membiarkan tubuh kita basah dihempas hujan yang diciptakannya. Sangat dekat. Namun kita masih mampu menikmati pagi yang magis dibalut seluet kuning diantar bayangan pohon cengkeh.
Kita berjalan menyisiri pematang sawah, melihat kehidupan petani dari liuk air, melihat anak-anak mencari rumput untuk sapi-sapi mereka. Senyum mereka masih memperlihatkan warna merah muda dipipinya, masih polos menyapa kita yang mungkin baginya adalah artis dari ibu kota. Itu adalah suatu tempat yang benar-benar belum cukup terjamah oleh tekhnologi, tapi hp kita masih bisa menangkap sinyal 3. Itu artinya tempat ini bukan telalu sulit untuk di jangkau dalam pembangunan. Ah, sudahlah itu memang sudah menjadi perdebatan dan pembicaraan yang tidak habis-habis di setiap rapat DPR ataupun sejenisnya. Berkali-kali dan selalu, tapi rakyak tetap bigini-begini saja, yang tetinggal tetap tertinggal. Pajak dari rakyat untuk siapa?
Tapi apa memang pemerintah sengaja membiarkan tempat ini untuk dinikmati oleh orang-orang seprti kita yang ingin mencari udara segar dan sapaan ramah.
Hatiku kini tertingal. Semua itu hanya sebuah ingatan tentang kita. Trimakasih Kau telah menemaniku malam itu dan kehangatan yang telah kau berikan. Lilinpun telah padam mengorbankan dirinya untuk menerangi malam kita walau hanya sejurus.
Tapi bintang-bintang kecil taka akan pernah berhenti menerangi kita , Ia kan tatap ada dan akan tetap ada, tak padam.
Tak seperti bulan semu yang hanya meminjam cahaya dari matahari, bahkan saat bulan bersembunyi ia memberi indah sepi malam.
Kau telah pergi meninggalkan aku di kota ini, pergi kesuatu tempat di mana  Patung Merlion Berdiri Tegak dan Semua benda-benda dunia berdiri megah.
Hidup ini memang sebuah pilihan, mungkin juga seperti aliran sungai. Sekali kamu membuat keputusan, kamu jatuh ke arus yang kuat dan kamupun bisa terbawa kesuatu tempat yang tidak pernah kamu mimpikan sebelumnya.
Dan dalam hidupku aku telah membiarkan Kau pergi ketika itu, yang sesungguhnya telah menginjinkan aku untuk mencegah kepergiaanmu. Tapi aku dengan percaya diri lebih membiarkan kamu pergi, dan mungkin juga adalah sebuah luka bagimu untuk berpisah denganku yang sepertinya memasang wajah tanpa kehilangan.
Aku ikut bersamamu? Ya Kau juga menginginkan itu, tapi ada wajah seorang ibu yang tidak bisa aku tinggalkan untuk pergi sejauh itu.
Tapi kasih! Aku tak setegar yang Kau lihat. Tapi jangan pernah Kau memikirkan apapun yang kamu tinggalkan. Bukankah Kau akan pulang setiap 10 tahun sekali, jika kau merindukaanku, tinggal 4 tahun lagi, kita akan bertemu. Mesti saat itu kau hanya akan berdiri sebagai “Seorang sahabat yang datang menemui sahabat lamanya”.