GOLD
UNDANGAN dari Gilang kuterima
di kantor menjelang menjelang pukul tiga, sesampainya aku dari tugas lapangan.
Rencana untuk segera menyeduh teh untuk merelaxkan suasana segera
terlupakan. Perhatianku tersirat pada
sebuah amplop yang di desain sangat bagus.
Saat ku buka sampul plastiknya, telepon di mejaku
berdering. Aku mengangkat telepon tanpa menghentikan upayaku mengeluarkan yellow board yang dilapisi art
paper, dan dicetak spot ultra violet pada tulisan “GOLD ”.
“Selamat siang dengan Galih Artika Dewi di sini.” Sambutku.
“Galih, tumben kamu ada di tempat! Seru suara dari
seberang sana.
“Maaf, siapakah ini?”
“Astaga, Kamu lupa
suaraku? Padahal baru empat bulan yang lalu kita bertemu. Tak hanya bertemu
karena sepanjang malam kita bersama-sama.” Ada nada gemas merasuk ke telingaku.
“Sorry, jika aku menelponmu ke kantor. Sudah
beberapa kali aku coba menghubungi, tp HP-mu tidak aktif.”
Aku tertawa dan minta
maaf, bukannya tidak aktif, lebih tepat nomornya berbeda. “Aku baru saja
menerima undangan, jadi konsentrasiku bercabang. Tampaknya ini undangan darimu!
Jadi rupanya kamu serius dengan rencanamu itu?
“Tentu! kenapa tidak?
Sudah sejak lama aku ingin membuat villa di Ubub. Jadi ku putuskan untuk
mendapat kepuasan batin dari pada hanya aku idamkan saja.”
“Yayaya.. Aku turut gembira,
luar biasa!”
“Ini juga karena ada
bara cinta yang membakar, bukankah nanti kita bisa lebih mudah untuk berlibur.”
Jika itu yang benar dia rencanakannya, ketika dia sendiri tahu aku sudah
memiliki tunangan, aku terkesipu mendengarnya. “Kamu tamu istimewaku.”
Entah; seharusnya aku
melonjak gembira atau terkesiap mendengar ucapan yang demikian mantap memekik
dari peria setampan dirinya.
“Dewi, kenapa kamu diam
saja?
“Oh, sorry! Sebenarnya
aku mau melonjak, tapi tentu salah tempat, Di depan mejaku sudah ada yang
menunggu, mau membicarakan pekerjaan.” Jwabku dusta.
“Oke, manis, sampai
jumpa.
Gagang telepon masih
ditelinga, menunggu Gilang menutup telepon. Maafkan aku Gilang, tidak akan
seperti yang kita harapan, cepat atau lampat perselingkuhan kita harus di
akhiri. Tapi percayalah. Kasihku tulus padamu.
SEINGATKU tadi Bagas
minta dibawakan kue. Sambil meluncur menuju rumahnya, aku berencana singgah di
sebuah bakery langganan. Sepanjang jalan yang ku pikirkan adalah cara pergi ke
Bali, meskipun Malang tidak terlampau jauh dari Bali. Tapi rencana ke sana
diluar tugas kantor pasti akan memancing keinginannya untuk ikut pergi
menemaniku. Tentu saja itu tidak boleh terjadi, bagaimanapun tidak mungkin
bagiku utuk memepertemukan dua peria yang kusayangi dalam satu ruang dan waktu.
Pasti akan menyebabkan tiupan badai yang menghancurkan. Namun jika diam-diam
pergi tidak masuk akal bagiku mengingat setiap hari kita bersama. Jadi, mesti
ada perjalanan dinas ke Bali.
IBU bagas
menyambut gembira kedatanganku. Kemudian setelah aku memberikan bungkusan roti
yang seharusnya langsung aku berikan pada Bagas, aku langsung beranjak ke lantai dua menuju
kamar Bagas yang sedari tadi sudah menungguku. Mendadak rasanya tidak nyaman.
Hal pertama yang aku inginkan adalah Bagas tidak menemukan undangan dari Gilang.
Dia
menyapa sayang padaku sambil tetap sibuk dengan komputrnya. Keringat mulai
mengembun di keningku, tiba-tiba ac di dalam kamar Bagas tidak sesejuk
biasanya. Mungkin aku harus pura-pura mengeluh, kenapa perusahaan harus memilihku
untuk dinas ke Bali. Dan aku membayangkan reaksinya yang menghiburku seraya
mengelus lembut pipiku dan aku memeluk
manja dirinya seperti bayi.
TIGA hari
menjelang keberangkatanku, seperti hari biasa aku bermalam di rumah Bagas, apa
mungkin sebaiknya aku menghembuskan kabar ini sebelum aku bercinta dengannya. Namun
aku tidak mapu berkata ketika wajah Bagas tinggal beberapa centimeter dari wajahku.
Pikiranku justru tersangkut pada kejadian serupa beberapa bulan yang lalu, ketika
bibir Surya yang beberapa kali memenuhi bibirku, dan rambutku yang bebarapa kali memenuhi wajahnya.
Aktivitas yang berakhir membuat tubuh kami lembab, selalu di akhiri dengan
aroma honey di dalam bath-tub. Aku tidak yakin bagaimana Surya menjadi begitu
berarti bagiku, dan aku mengenalnya jauh sebelum mengenal Bagus. Tapi hari
berikutnya peria itu layaknya oksigen yang tak tergantikan.
Keesokan
harinya setalah aku duduk di ruangan kerjaku, aku deg-degan menunggu waktu yang
tepat untuk menelpon Bagas. Hingga
menjelang jam 2 aku mengambil gagang telepon dan mulai memencet tombol angka.
“Sayang,
akhir-akhir ini kamu Nampak lebih sibuk?”
“Iya,
knapa?”
“Dua hari
lagi aku ada tuga dinas ke Bali.”
“Lho! Kok
mendadak? Berapa lama?”
“Iya
surat tugasnya baru aku dapat tadi pagi. Mungkin dua sampai tiga hari.”
“Oke. Nampaknya
malam ini kamu perlu banyak istirahat, nanti aku belikan kamu es crem kesukaan.”
“Trimakasih
sayang.. Muuach.” Tanpa menunggu balasan darinya aku langsung menutup telepon.
Bagaimanapun berdusta itu mendebarkan.
SENJA baru saja
tenggelam, kudengar sayup suara gambelan Bali. Lokasi Villa di Jalan Suweta dekat Waka di Uma
ressort, 5 menit dari Sentral Ubud.
Akses pribadi ke ke lokasi hanya 50 meter dari jalan raya. View sawah dan tebing di belakang menambah kesan natural. Rupanya Gilang benar-benar menyulap suasana menjadi etnik. Gerbang yang tertutup ilalang, kolam tepi cakrawala yang nampak mengambang di lembah Ubud. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, tentu saja aku tersipu malu di depan banyaknya undangan yang datang, sambil berharap tidak satupun orang yang mengenalku di sini. Dan ku dapati si tampan Gilang mengenakan setelan jas, menoleh kearahku.
Akses pribadi ke ke lokasi hanya 50 meter dari jalan raya. View sawah dan tebing di belakang menambah kesan natural. Rupanya Gilang benar-benar menyulap suasana menjadi etnik. Gerbang yang tertutup ilalang, kolam tepi cakrawala yang nampak mengambang di lembah Ubud. Cahaya lampu yang menyiram beranda langsung memperlihatkan wajahku, tentu saja aku tersipu malu di depan banyaknya undangan yang datang, sambil berharap tidak satupun orang yang mengenalku di sini. Dan ku dapati si tampan Gilang mengenakan setelan jas, menoleh kearahku.
“Oke
teman-teman dan para wartawan, kekasih yang kun nanti-nanti sudah tiba. Kita mulai
acaranya”.
Aku agak kikuk, namun Gilang
meleburnya dengan pelukan yang begitu mesra. Ada beberapa bule yang hadir di
sana. Justru membuat Gilang tidak merasa sungkan mencium bibirku. Dan entah
kenapa, para wartawan itu begitu gemar dengan hal-hal yang berlangsung sebentar
tetapi berdenyar. Mereka memotret. Sejenak mataku silau.
Namun ketika pelukan Gilang lepas dan aku mencoba mengitarkan pandangan, di antara pengunjung kulihat seseorang yang sangat kukenal. Mataku masih terpengaruh oleh kilat lampu blitz. Tapi tidak mungkin lupa wajah tunanganku.
Bagas ada di sudut itu!
Dengan sebuah kamera digital di tangannya. Wajahnya tertegun. Atau terpesona?
Tapi parasnya memucat.
"Baiklah,"
ujar master of ceremony. "Kita akan mendengar awal gagasan mengenai GOLD.
Silakan Gilang bercerita untuk kita…"
Selanjutnya telingaku
tidak menangkap kata-kata dari Gilang, karena segera bergegas mengejar Bagas
yang beringsut begitu cepat ke arah pintu keluar. Aku mengutuk diriku yang
mengganti nomor handphone. Pasti ia telah mencoba menghubungiku sejak kemarin.
Apakah aku juga harus mengutuk teman yang mengajaknya ke sini? Bukankah dia sedang
sibuk?
"Bagas!"
aku memanggil.
Di luar sunyi, tapi
tidak dengan degup jantungku yang gemuruh
. "Nama
GOLD kupilih karena…." Suara Gilang semakin sayup. Di taman yang separuh
gelap itu, aku berlali mengejar Bagas.
Sementara
di ujung jalan aku melihat sebuah mobil swift meleset, aku tahu bahwa
kecepatannya akan selamanya kurasakan terlalu cepat.